Oleh Carissa Atrianty
Orang itu datang dan pergi.
Sesaat ia datang dan dunia terasa terang. Tetapi cahayanya tidak lenyap saat ia pergi. Orang itu datang dan pergi, seperti hujan yang dinanti-nantikan dan lalu pergi meninggalkan udara sejuk dan lahan subur yang dibuatnya. Orang itu datang dan pergi. Seperti uang yang jatuh, lalu dihabiskan, tetapi meninggalkan kesan tersendiri.
Orang itu datang dan pergi. Tak satupun tahu siapa sosoknya sebenarnya. Dan mungkin ia pergi begitu saja, tak ingin diketahui siapa dirinya sebenarnya.
* * *
Lebaran rasanya datang lebih cepat dari tahun-tahun sebelumnya.
Lebaran ini pula lah yang sudah ditunggu-tunggu oleh anak-anak sepekerjaanku. Tentu saja, Bang Asep, yang telah bertanggung jawab atas keadaan dan pekerjaan kami di sini, mengucap janji lagi, yang mungkin bagiku adalah janji belaka lainnya yang tak pantas dipercaya. Kami akan pulang, begitu ucapnya. Tapi ia sudah mengatakan itu selama bertahun-tahun, dari Lebaran satu ke Lebaran tahun berikutnya. Janji ia umbar-umbarkan, tapi tentu saja, kami tak pernah pulang. Sedikit rasa rinduku pada kampong halaman. Walau bisa dibilang, kehidupan di Jakarta sudah cukup serba ada (untuk ukuran anak-anak jalan seperti kami). Hanya terkadang saja aku memikirkan orang tua di kampong. Toh mereka juga sudah bahagia tanpaku. Toh suatu hari nanti, aku akan pulang juga. Serindu-rinduku akan kampong halaman, aku tidak pernah merasa tidak betah untuk cepat-cepat pulang.
Siang itu kuhabiskan dengan menatap jalan raya dengan terik matahari yang tidak berhenti-hentinya menjadi cobaan di siang itu, menggerogoti energi kami semua, membakar kulit kami yang sebenarnya sudah gosong. Satu-satunya yang menjadi pelindung kami dari sinar sang surya adalah jembatan tua ini. Jangan tanya aku nama tempat dan jembatan ini. Lumayan terkenal di Jakarta, terkenal rawan pula dengan preman-premannya, yang salah satunya tidak lain dari Bang Asep sendiri. Sesekali memang pikiranku terbang dengan sendirinya ke kampong halaman. Sudah empat tahun dan aku masih belum berjumpa dengan eyang dan ibu di rumah. Bagaimana keadaan mereka? Bang Asep sendiri yang pulang setiap tahunnya tanpa kami, tidak sedikitpun memberi kabar. Apakah Bang Asep memang benar menyetor uang yang kami dapat untuk menghidupi orang-orang di kampong? Tidak ada yang pernah tahu.
“Tar! Mochtar!”
Sebuah suara memecah keramaian, membuyarkanku dari semua angan-angan dan mimpi di siang bolong. Sekejap semua yang ada di otakku bagai terlempar tak keruan ke udara bebas.
“Ngapain kau? Bengong saja siang-siang bolong gini. Maghrib masih lima jam lagi.”
Tanpa usah dibaca pikirannya lagi, maghrib tentu apa yang ada di pikiran anak-anak kala itu, termasuk Dimas dan aku pula. Mereka menghitung mundur jam. Seolah pukul enam itu akan datang seabad lagi. Namun rasanya aku terlalu bosan menghitung waktu. Toh, bagaimanapun juga, walaupun dinanti-nanti, maghrib tidak akan datang lebih cepat. Jadi dugaan Dimas tidak sepenuhnya benar.
“Tenang saja. Nggak cuma kamu saja yang berpikir demikian. Lihat saja yang lain. Mereka sama malasnya bekerja hari ini seperti kita. Lagipula, siapa pula yang pingin bekerja di tengah situasi seperti ini? Rasanya aku ingin tidur sampai adzan nanti. Supaya rasa lapar ini terlewatkan.” Celoteh Dimas.
Wajahnya mungkin kusut, tapi kurasa hatinya tidak. Ia begitu tegar dan tabah menghadapi saat-saat seperti ini. Tidak seperti kebanyakan orang yang berpikir puasa hanyalah sebuah kendala di hari yang panas, hampir kami semua di tempat ini mengalami puasa setiap harinya. Tidak usah menunggu bulan Ramadhan tiba.
“Tidak baik, tahu, kalau tidur hanya untuk melewatkan sisa waktu sebelum maghrib.” Tegurku, mengingat apa yang pernah seorang ustadz katakan kala kami sholat Jumat. “Mendingan bekerja saja. Walau memang kesannya capek, tapi setidaknya dengan cara seperti itu, waktu akan berjalan terasa lebih cepat. Lapar jadi tidak terasa lagi. Malah, rasanya maghrib akan datang lebih cepat.”
Dilihat-lihat nampaknya Dimas tak menghiraukan perkataanku. Ia berdecak sesaat, berpaling pada mobil-mobil yang melintas kala lampu hijau menyala.
“Bagaimana ya rasanya menjadi orang-orang yang ada di dalam mobil itu?” Dimas mengganti topik segera.
“Untuk apa dipikirkan segala? Kita harus memikirkan nasib kita, Dim.”
“Percuma, Tar. Yah, memang sih, kita harus memikirkan nasib kita ini. Tetapi tidak ada salahnya kan memikirkan orang-orang yang berada di dalam mobil yang lalu lalang tersebut. Setidaknya, hanya dengan memikirkannya saja membuatku merasa lebih baik. Bayangkan, mereka mungkin tidak harus mencari nafkah sepanjang hari untuk bisa membeli makanan untuk buka. Mungkin menu buka puasa mereka sudah menunggu di meja makan tiap sorenya.”
Dimas memang jagonya kalau berimajinasi. Tanpa disuruh, pikirannya sudah malang melintang. Dia sudah sering berceloteh tentang kepura-puraannya menjadi ‘orang-orang bermobil’ tersebut. Dari mulai rasanya jadi tinggal di hotel berbintang yang terletak tidak jauh dari jembatan tempat kami bekerja, sampai menu buka puasa yang hari ini ia ceritakan.
“Yah, kalau saja…” Dimas menghela nafas panjang. “Kalau saja, ada gitu yang setidaknya mencoba mengadopsi kita. Pasti kita sudah hidup enak, Tar. Oh, tidak perlu repot-repot mengadopsi deh, setidaknya, peduli kepada kita saja pasti rasanya sudah enak ya. Atau mungkin, seandainya saja, kita merasakan apa yang orang-orang bermobil tersebut rasakan: menanti menu buka puasa mereka tanpa perlu bersusah payah membelinya...”
“Dim, tak ada gunanya berimajinasi di siang bolong. Takkan ada yang terjadi. Percayalah. Toh pasti puasa kita hari ini akan kita akhiri dengan membeli makanan buka puasa juga.” Aku memotong pembicaraannya. Ada sedikit rasa bersalah padaku karena telah memotong imajinasinya. Tetapi mendengar perkataannya yang seperti air terjun, rasanya otakku juga empet memikirkannya.
* * *
Akhirnya hari dilanjutkan kembali dengan bekerja. Cukup dengan istirahat siangnya. Kakiku kembali melangkah ke jalan raya, menyusup melalui mobil-mobil yang tengah berhenti. Aku sedikit berdoa, berharap kalau setidaknya matahari bisa membantu memperingan hariku. Setidaknya, aku berharap ia bisa sebentar bersembunyi di balik awan. Berbekalkan seonggok kayu dengan tutup-tutup kaleng bekas yang ditempel, kukunjungi mobil-mobil tersebut satu persatu. Satu lagi modal utamaku adalah, ekspresiku. Aku tidak boleh terlihat kusut atau kusam. Walau memang, secara fisik, mukaku sudah tidak usah ditanya lagi. Tetapi setidaknya, aku juga ingin memperingan beban ‘pelangganku’. Ya, betul, orang-orang yang duduk dengan ekspresi kusam di dalam mobil mereka yang dingin dan berAC, adalah pelangganku. Dan aku melayani mereka, direspon atau tidak. Tetapi orang-orang ini butuh dihibur di hari yang terik dan keadaan yang tidak memungkinkan mereka untuk tersenyum.
Mungkin bila kau ada di posisiku, maka kau akan mengeluh. Pekerjaanku memang berat, tetapi bermodalkan dengan kerincingan yang kugenggam ini dan senyum yang kupasang – senyum setulus mungkin yang bisa kuberikan – aku merasa cukup beruntung memiliki pekerjaan ini. Bayangkan, aku bisa mengamati berbagai wajah dan beragam ekspresi dari dekat. Ibu-ibu bersanggul yang mengipas-ngipas di mobilnya yang dingin, seorang tua yang berulang-ulang berdecak dan menatap jam, seorang pemuda yang dengan enaknya meneguk air minum dingin di teriknya matahari ini.
Matahari mulai redup, meninggalkan sisa-sisa cahaya jingga dari ufuk barat dan langit violet siap menggantinya. Sayup-sayup dari kejauhan, terdengarlah suara itu. Suara merdu yang tentu sudah ditunggu oleh setiap umat muslim di kota. Ya, selesai tugasku hari itu. Cukup orang yang sudah kuhibur dengan suara pas-pasanku. Kini perutku meminta untuk diisi. Dengan perlahan, kutengok uang yang teronggok di saku celanaku. Dua ribu rupiah. Jumlah yang lumayan. Memang tidak banyak, tetapi, setidaknya dengan uang sebanyak ini, aku bisa membeli sebungkus pisang goreng atau sebotol minuman dingin.
Otomatis, kakiku langsung menuju gerobak kaki lima terdekat, siap untuk mengisi perut dengan cairan teh yang dingin. Mataku sudah terarah ke gerobak tersebut, setidaknya sampai seseorang menyentuh pundakku.
“Dik. Adik.”
Aku berbalik, hanya untuk menemukan seorang pria berpenampilan rapi. Istilahnya, itulah gambaran lawan dari perawakan Bang Asep. Bahkan kutebak usianya tidak lebih tua daripada Bang Asep sendiri. Pria itu memakai blus putih garis-garis dan celana panjang hitam.
Rambutnya tertata dengan baik. Sepertinya ia selalu pergi cukur setiap minggu. Hampir-hampir mataku tidak mempercayai bahwa aku akan bertemu muka dengan orang sebersih dan serapi orang itu. Apa ia tidak jijik denganku? Yang bau dan kotor ini? Tapi nampaknya, ia tidak sedikitpun merasa enggan atau menjaga jarak dari tubuhku ini.
“Bapak siapa?” spontan mulutku melontarkan kata-kata itu.
“Saya hanya kebetulan lewat.”
Orang itu sepertinya tidak menjawab pertanyaanku. Ia kemudian menggiringku ke tepian jalan dan kami pun duduk di trotoar bawah pohon. Sedikit aku merasa curiga, mengingat Jakarta ini kota yang rawan dan orang serapi dia bisa jadi seekor serigala yang berkedok domba.
“Bapak…tidak buka puasa?”
Di kejauhan kumandang adzan akhirnya selesai pula. Dan aku yakin, saat ini teman-temanku, seperti Dimas, sudah mendapat jatah makan mereka di hari itu.
“Saya sudah. Memangnya adik belum?”
Aku tak berkata apapun, hanya kubuka genggaman tanganku untuk sedikit memperlihatkan jumlah uang yang kudapat. “Saya pikir ini akan cukup.” Ucapku.
“Kemarikan tanganmu.”
Benar kan pikirku. Orang ini memang bukan orang baik-baik. Mungkin ia seperti salah satu rekan Bang Asep dan baju yang bagus, bersih, dan rapi ini, bisa jadi bukan miliknya. Hal pertama yang terlintas di pikiranku adalah, lari dari tempat itu, menghindari pria yang akan merampas uang yang telah kukumpulkan sejak pagi ini.
“Tenang saja.” Pria itu setengah berbisik, menorehkan senyum di wajah lembutnya. Entah apa yang kurasakan saat itu, tetapi mataku serasa dihipnotis. Bukan sembarang hipnotis untuk bertindak yang macam-macam. Tetapi sepertinya ini ‘hipnotis’ yang berbeda. Setidaknya, saat itu, udara berubah sejuk dan seolah perawakannyalah yang mengundang atmosfir itu.
“Dua ribu? Itu sajakah yang kau punya?” pria itu memandang uang yang tergeletak di telapak tanganku. Nah, terus apa? Apa ia hanya akan berkata demikian lalu pergi?
“Ini jumlah yang sudah saya dapat sepanjang hari ini, Oom.”
“Ya. Tapi, apakah cukup? Maksud saya, saya tahu adik ini sudah bekerja keras dari pagi hingga sore ini. Tetapi, dua ribu sajakah untuk membayar semua kerja keras adik?”
“Tidak apa-apalah, Oom. Yang penting, saya sudah bisa menyelesaikan tugas saya hari ini dengan baik. Saya layani orang-orang yang berdiam di mobil dan mengeluh menantikan adzan maghrib dengan tidak sabar. Saya tidak butuh uang yang banyak. Menghibur mereka pun rasanya sudah seperti menghilangkan rasa dahaga yang ada. Satu senyum yang saya pasang, sama seperti menikmati seonggok pisang goreng.”
Senyum di wajah pria itu merenggang.
“Mari.”
Pria itu kemudian berdiri dan mengulurkan tangannya. Aku tak bisa berkata apa-apa, hanya mengikuti langkah pria yang ternyata memasuki sebuah warung kecil, membelikanku sebotol teh dingin dan sebungkus pisang goreng yang sudah kuincar dari tadi. Saat cairan teh dingin menuruni tenggorokan, rasanya aneh. Ini bukan rasa dahaga yang berlebihan yang akhirnya terobati. Namun berasa seperti rasa dahaga biasa, namun saat cairan itu turun, sepertinya meninggalkan kesan sejuk dan tenang. Seperti aku baru saja menyelesaikan suatu tugas berat yang diakhiri dengan meminum minuman dingin yang sudah kunanti-nanti.
Pria itu kembali mengantarku ke trotoar tempat kami duduk semula.
“Orang-orang yang tidak pernah bersyukur dengan apa yang mereka punya.” Lanjut pria tersebut. “Mereka tidak mengerti makna puasa sebenarnya. Puasa itu tidak hanya soal makan-makanan enak saat buka puasa atau penantian lebaran. Saya malah tidak habis pikir. Kenapa adik yang begitu kekurangan ini sepertinya menghadapi hal ini dengan tabah dan tulus. Adik adalah salah satu orang yang amat membutuhkan perhatian masyarakat di jalanan kota yang ramai ini. Bulan puasa ini hanya sebagai media, sarana agar orang-orang mau bersikap lebih tulus kepada sesama, merasakan apa yang kaum papa rasakan. Adik tentu tidak menghadapi puasa saat bulan Ramadhan saja bukan?”
Aku mengangguk seraya mengunyah pisang goreng.
“Sungguh memprihatinkan. Jauh di sana, banyak orang yang berkumpul untuk merayakan acara buka bersama secara meriah. Menantikan jam maghrib yang tak kunjung tiba. Tetapi saat saya berkunjung ke tempat ini, saya seperti mengunjungi sebuah dunia lain. Dunia tanpa menghambur-hamburkan uang, dunia di mana puasa bukanlah suatu kendala, dunia di mana uang hanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan pokok.” Pria itu menatap kosong jalan raya.
Aku tidak bisa tidak setuju. Memang benar kata pria ini. Aku salah satu dari mereka. Aku sudah hidup di kota ini selama empat tahun dan belum kulihat tanda-tanda adanya manusia-manusia dermawan yang rela memberikan perhatiannya – walau hanya sedikit – ke kaum seperti kaumku ini. Walau memang, bukan berarti para dermawan itu tidak ada. Hanya saja, kurasa hanya yang beruntunglah yang dapat menjumpai para dermawan itu, seperti yatim piatu yang tinggal di panti asuhan. Mereka mungkin seperti aku dan setiap anak yang ada di tempat ini. Tetapi tidak sedikitpun mereka miskin perhatian.
Aku tidak merasa miskin uang. Aku hanya merasa miskin perhatian. Anak yatim piatu itu mungkin miskin secara materi, tetapi mereka tetap tersenyum, di keadaan sememprihatinkan apapun. Senyum yang seolah berkata ‘Saya harus bertahan hidup’. Di sisi lain, rasanya dunia ini tidak adil sekali. Miskin. Kaya. Dermawan. Pelit. Sombong. Rendah hati. Terkadang Dimas ada benarnya pula. Bagaimanakah dunia ini bila dilihat dari sudut pandang berbeda? Katakanlah, aku seorang yang serba berkecukupan.
Apa dunia ini akan terlihat lebih baik?
“Adik tahu?” kembali pria itu memecah isi pikiranku. “Bahwa terkadang semua itu hanya kamuflase. Sekilas orang-orang bermobil tersebut memang beruntung karena memiliki materi berlimpah. Tetapi ketahuilah, bahwa mereka tidak sepenuhnya bahagia. Bahkan ada yang dari mereka yang butuh perhatian. Seperti misalnya, anak orang yang serba berkecukupan. Ia memiliki segalanya. Harta, mobil, benda-benda mahal, tetapi ia butuh perhatian dari orang tuanya. Sebuah kasih sayang. Atau seorang pria yang sedang dilanda masalah rumah tangga. Maka itu, adik bersyukurlah. Adik memang sudah bersyukur dan saya suka itu. Saya suka semangat adik. Andai saja, teman-teman adik berjiwa seperti adik ini.”
Kata-kata pria itu mengalir seperti lancarnya kunyahan pisang goreng yang menuruni kerongkongan ini. Tiba-tiba, aku merasa berdosa. Aku tidak pantas untuk menerima kata-kata ini. Masih ada orang yang lebih pantas bertemu dengan pria ini. Aku tidak cukup bekerja keras. Memang manusia tidak ada yang sempurna. Bapak ini memandang seolah aku ini sempurna. Tetapi tidak, aku jauh dari sempurna. Pria ini tidak tahu aku.
Aku terdiam, mengunyah gigitan terakhir pisang goreng.
“Maaf.” Kataku. Aku terlalu beku untuk bisa berkata-kata. “Sebenarnya, bapak ini siapa? Kenapa bapak mau ke tempat seperti ini? Berbicara kepada saya? Tentang semua ini? Tujuan bapak kemari untuk apa? Bukankah, seharusnya bapak berada di tempat yang lebih baik daripada tempat ini? Mungkin bapak memiliki keluarga yang telah menanti bapak untuk berbuka bersama?”
Namun ia hanya tersenyum. Entah mungkin ia kebingungan untuk menjawab pertanyaan yang begitu banyak kulontarkan. Kembali menorehkan senyum hangat namun penuh misteri. “Tak ada yang lebih baik daripada menghabiskan waktu berbuka bersama orang seperti adik ini.” Orang itu bangkit berdiri, bersiap untuk pergi. “Terima kasih atas waktunya, dik Mochtar. Terima kasih telah membuat saya betul-betul terkesan.”
Kujawab dengan senyuman. Senyuman kesekian kali yang telah kuberikan kepada orang-orang, tetapi dari sekian banyak senyuman, hanya pria asing inilah yang sanggup menjawabnya kembali dengan senyuman. Pria yang…tunggu dulu…mengetahui namaku ini. Mulutku ternganga, seperti hendak berbicara tetapi tertahan saat pria itu kembali berbicara.
“Oh omong-omong.” Pria itu berbalik sebelum benar-benar pergi. “Saya telah menitipkan sesuatu untuk kawan-kawanmu juga. Ada di situ.”
Ia menunjuk ke arah tiang jembatan. Di bawahnya, tergolek dua kantong plastik besar dengan bungkusan-bungkusan berbentuk kotak di dalamnya. Senyumku semakin lebar. Saat itu kurasakan betapa berartinya senyuman yang kuberikan padanya di sore itu. Senyuman yang kuberikan pada si orang asing.
“Terima ka…”
Belum selesai aku mengucapkan kata tersebut, orang itu tiba-tiba saja sudah lenyap. Pandangan kulontarkan ke berbagai sisi dan sudut jalan itu. Barangkali pria itu sudah menyeberang jalan lalu naik ke sebuah kendaraan dengan sangat cepatnya? Sementara, di bawah tiang jembatan itu, bungkusan-bungkusan plastik itu mulai dikerumuni rekan-rekan sepekerjaanku.
“Mochtar! Mochtar! Rejeki datang!”
Dari kejauhan, Dimas sudah memegang dua bungkus kotak, yang kuyakin satunya lagi akan diberikannya padaku. Lalu ia menghampiriku dan memberikan satu bungkusan kotak yang tengah dipegangnya itu padaku.
“Alhamdulillah, Tar.” Dimas duduk di trotoar lalu dengan terburu-buru melahap santapan berbukanya. “Jarang-jarang rejeki datang. Tetapi, siapa pula yang rela melakukan ini semua? Para dermawankah yang kebetulan lewat? Ah tidak usah dipikirkan siapa yang memberikan rejeki ini. Barangkali ini titipan malaikat yang sedang singgah…”
Kata-kata Dimas seolah memukulku dari belakang. Otak ini rasanya ingin mengulang percakapanku dengan pria tadi. Siapakah dia? Siapakah engkau, wahai orang asing? Yang datang tanpa diundang, berpakaian rapi, dan tidak segan-segan mengunjungi tempat yang tidak layak ini? Yang datang dan berbicara padaku, seolah…seolah saja…ia tidak berasal dari sini. Rasanya tidak mungkin bila ia memang berasal dari sini, berpakaian rapi, tampak seperti orang yang berada, dan rela memberikan rejeki di hari ketiga puluh lima bulan Ramadhan ini.
“Barangkali, ini malam Lailatul Qadar. Ah, tapi soal itu, hanya Tuhan yang tahu…” sambung Dimas sambil mengunyah ayam goreng dan nasi dalam jangka waktu bersamaan. “Sudahlah, Tar. Yang penting sekarang makan saja. Tugas kita sudah selesai hari ini. Sekarang saatnya…mengisi perut.”
Perlahan kubuka bungkusan kotak itu dan mulai melahap nasi dan lauk-pauk. Pikiranku masih seolah tidak mau berhenti memikirkan tentang pria tersebut.
Orang itu datang dan pergi.
Mungkin ia memang diutus untuk pergi ke tempat ini. Untuk melakukan observasi. Tentang kehidupan manusia di kota ini, di tempat ini. Mungkin memang perjumpaanku sudah diatur. Mungkin pria itu memang merencanakan perjumpaanku. Mungkin ia sudah mengamatiku sejak pagi tadi. Hanya saja aku tidak melihatnya.
Terima kasih ya Tuhan, ujarku dalam hati, telah membuatku sadar bahwa sesungguhnya dunia ini tidak terlihat lebih baik dari sudut pandang orang lain, orang yang sebenarnya lebih beruntung dari hambaMu ini.
Hidup yang bila dicerna ini, memiliki makna yang dalam.
Pukul 22.00
Jakarta, 2 November 2009
Jakarta, 2 November 2009
No comments:
Post a Comment